Kamis, 07 Juli 2011

在与神的爱

谢赫穆罕默德伊本阿卜杜勒瓦哈比


-------------------------------------------------- ------------------------------
字安拉(意义):
“而在男性有那些谁电梯除了安拉神,他们爱作为上帝爱他至于那些谁相信,爱上帝。” (AL -古兰经:165)

“你说:”如果你的父亲,子女,兄弟,妻子,你的亲属,认为你们都获得了财富,你害怕商业损失,民居,你喜欢,你越喜欢比真主和真主和圣战在安拉的使者方式,然后等待,直到真主有关他的决定带来了“。” (AL -古兰经/ AT Tauba:24)

布哈里和穆斯林圣训从阿纳斯辐射“暗呼,认为安拉的使者说:

“有三种情况,无论谁出现在他的第三个例子是,他一定感受到了信仰的甜头,即上帝和安拉的使者,是比其他人更钟爱的,爱别人只是因为没有神,也不会回到怀疑后真主救他他那不是被扔进火“。

并提到另一种叙述:“一个人不会感到信仰的甜头,前... ...”等等。

伊本Jarir讲述由伊本阿巴斯,他说:

“谁爱的人,因为上帝恨,因为神的人,因为上帝和人反对,因为神的人辩护,那么可以肯定的爱和神的帮助只能得到它,而仆人不会发现尽管许多祈祷的信仰的喜悦感,速度快,所以他的这样做。人与人之间的友谊一般根据世界的利益,但它是没有用他们的。“

伊本阿巴斯,在解释上帝的话:“... ...和断开所有在他们之间。” (AL -古兰经:166),他说:“那是爱。”

这篇文章的内容:

在古兰经的经文诠释铝古兰经。这节经文显示了上帝的爱比其他任何人神化,因为他爱上帝是偶像崇拜。

在苏拉的诗句诠释AL - Baqara和AT - Tauba。这节经文表明,爱上帝和上帝的心爱的爱,必须优先接管一切。

爱比自己,家庭和财产的义务更爱先知。

声明“没有信仰”并不意味着出了伊斯兰教,(但意义不在于完善信仰)。

信仰,有甜味,有时一个人可以得到,有时没有。

提到的四个态度是一个必要条件,从而获得神的守护者的地位,有人不会找到一个欢乐的信仰态度,除了四个意识。

伊本阿巴斯对现实的认识,即友好关系一般是根据世俗的利益。

诠释的诗句:“... ...并断开它们之间的任何连接的。”这节经文表明,爱情和亲情的培育形成世界上拜偶像将在所有时,在此后中断,他们每个人将得到离他而去。

提到的是,在拜偶像还有谁喜欢与爱是上帝。

对某人的第八案以上(父母,子女,兄弟姐妹,妻子,家庭,财产,商业和住宅)的威胁,是比他心爱的宗教。

除了安拉崇拜为神所爱的爱,就是推卸阿克巴尔。

摘自书:“认主独一的书”的谢赫穆罕默德伊本阿卜杜勒瓦哈比。
出版:宣教和伊斯兰指导,利雅得合作办公室1418年H....

In love with Allah

Shaykh Muhammad ibn Abdul Wahhab


-------------------------------------------------- ------------------------------
Word of Allah (meaning):
"And among men there are those who lift gods besides Allah, they loved him as the love of God. As for those who believe, love to God." (Al-Baqarah: 165)

"Say: 'If your fathers, children, brothers, wives, your kindred, the wealth that ye have gained, the commerce you fear loss, and dwelling houses that you like; it dearer to you than Allah and His Messenger, and (instead) Jihad in Allah's way, then wait until Allah brings about His decision. "." (Bara'ah / At-Tauba: 24)

Al-Bukhari and Muslim narrated from Anas radi 'anhu, that the Prophet sallallaahu' alaihi wa sallam said:

"There are three cases, whoever there is in his third case, he must have felt the sweetness of faith, namely God and the Messenger of Allah is more beloved than others; love someone else just because there is no God, and would not return to disbelief after Allah saved him as he would not that be thrown into the fire. "

And mentioned in another narration: "A person will not feel the sweetness of faith, before ..." and so on.

Ibn Jarir narrated from Ibn 'Abbas radi' anhuma, that he said:

"Whoever loves someone because God hates a person because of God, because God and the person defending against a person because of God, then surely the love and help of God can only be obtained with it. And a servant will not find a sense of joy of the faith, though many prayers and shiyamnya, so he's doing that. friendship among human beings is generally based on the interests of the world, but it is not useful at all for them. "

Ibn 'Abbas, in interpreting the word of Allah Ta'ala: "... and the disconnect between them at all." (Al-Baqarah: 166), he says: "that is love."

The content of this article:

Interpretations of verses in sura Al-Baqarah. This verse shows deify anyone other than God with love as he loves God is idolatrous.

Interpretations of verses in sura Al-Baqarah / At-Tauba. This verse shows that love God and love for the beloved of God must take precedence over everything.

Mandatory love Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam is more than love of self, family and property.

The statement "no faith" does not mean out of Islam, (but the meaning is not perfected faith).

Faith that there is sweetness, sometimes a person can be obtained and sometimes not.

Mentioned four attitudes is a necessary condition to obtain status as guardian of God, and someone will not find a sense of joy of the faith except the four that attitude.

Understanding of Ibn 'Abbas against reality, that friendly relations are generally based on worldly interests.

Interpretations of the verse: "... and disconnect any connection between them at all." This verse shows that the love and affection that has fostered the idolaters in the world will be interrupted at all when in the hereafter, and each of them will get away from him.

Mentioned that among the idolaters there who loves God with a love that is.

Threats against somebody's eighth case of the above (parents, children, siblings, wife, the family, property, commercial and residential) is more beloved than his religion.

Worship besides Allah by loving as God loves, that is shirk akbar.

Excerpted from the book: "The Book of Tawheed" by Shaykh Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Publisher: Cooperation Office of Da'wah and Islamic Guidance, Riyadh in 1418 H.

Selasa, 14 Juni 2011

Bahkan Para Suami pun Menangis

Kehidupan tidak selalunya menawarkan kesenangan. Bagi sebagian orang, mengakrabi hati dan waktu mereka dengan kesedihan karena kesulitan hidup adalah sudah menjadi hal lumrah setiap harinya.Dan mereka membebaskan kepenatan hidup dengan menangis.

Semua orang pasti pernah merasakan bagaimana kesedihan menyesakkan dada mereka. Namun masih banyak dari kita yang menilai bahwa menangis itu, apalagi bagi kaum adam, adalah hal tabu. Tabu untuk diperlihatkan apalagi diceritakan. Sisi harga diri mereka mengatakan mereka haruslah kuat, kuat dan kuat. Lucunya lagi ketika dari mereka kedapatan tengah menangis, merekapun meminta maaf.

Biasanya masalah pekerjaan tidak akan membuat pria menangis, Pun masalah keuangan. Lalu, apakah yang membuat seorang suami menjadi menangis? justru kekuatan terbesar mereka penyebabnya, yaitu Akal mereka. Karena pria menggunakan akalnya lah yang menyebabkan ia menangis. Ia menangis karena telah lelah dalam berpikir, sel-sel dalam otaknya tidak mampu lagi untuk digunakan berpikir dalam menyelesaikan masalah. Saat ia menangis, jauh dalam pikirannya yang ada hanyalah air mata sebagai solusi.

Dalam kondisi tersebut, biasanya justru sang istri dapat bersikap tegar. Kondisi ini berbeda dengan keseharian istri sebagai seorang wanita yang mudah tersentuh meski hanya menonton sinetron picisan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kekuatan para pria sebenarnya wanitalah yang jauh lebih kuat. Terbukti, saat si suami bersedih bahkan sampai menangis hanya istrinyalah lah pelipurnya.

Jika akhirnya suami menangis, mungkin itu adalah batas akhir pertahanan hatinya untuk tetap tegar, maka pahamilah. Mereka tak akan membiarkan tetesan air mata mereka jatuh dan menjadi tontonan orang banyak, kecuali hanya dalam pandangan orang- orang yang dia sayangi. Disana akhirnya dia membiarkan dirinya menjadi sedikit lemah, maka bersimpatilah. Lelaki yang menangis karena istrinya adalah karena sangat begitu dalam menyanyang wanitanya itu, maka pahamilah. Bukan rasa kasihan yang dia harapkan, maka hargailah. Koreksi diri harus dihadirkan sang istri bila para suami menangis karena mereka. Tangisan itu mungkin karena menangis diam- diam sudah tidak mungkin lagi. jangan menunggu lebih lama, atau penyesalan yang akan didapat saat kita harus menyampaikan "MAAF".

Seperti halnya seorang istri yang bisa membuat para suami menangis, disisi lain kehadiran separoh jiwanya tersebut di sudut jiwa mereka, mampu meredam kesedihan yang sangat dr sang suami. Dan itu adalah tugas tercantik para kaum hawa.

Air mata tidak selalunya menggambarkan kelemahan dan penurunan harga diri seorang suami. Bahkan para suamipun adalah manusia biasa, jangan berikan label apapun atas kemanusiawiannya itu. biarkan mereka membebaskan perasaan mereka dengan menangis. Hanya berikan sedikit interupsi bila air mata itu keluar disaat yang kurang tepat.

Mungkin ada baiknya juga untuk para suami, jangan pernah malu untuk menangis, karena keluarnya air mata dapat mengurangi resiko terkena serangan jantung & stroke. Air mata dapat melepaskan segala beban yang selama ini ada di pundak. Disana juga mengandung arti ujian bagi ketulusan hati pasangan anda dalam menyikapi kesedihan anda tersebut. Tapi, tentu saja jangan keterusan menangis karena pasti orang akan bingung anda pria atau wanita.

Suami Sejati "Kelembutan dan Basa-Basi dalam Menghadapi Istri"

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

اِرْفَقْ بِالْقَوارِيْرِ

“Lembutlah kepada kaca-kaca (maksudnya para wanita)” (HR Al-Bukhari V/2294 no 5856, Muslim IV/1811 no 2323, An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubro VI/135 no 10326 dan ini adalah lafal An-Nasa’i)

Berkata Ibnu Hajar, “Al-Qowarir plural (kata jamak) dari singular (kata tunggal) Qoruroh yang artinya adalah kaca…berkata Romahurmuzi, “Para wanita dikinayahkan dengan kaca karena lembutnya mereka dan lemahnya mereka yang tidak mampu untuk bergerak gesit. Para wanita disamakan dengan kaca karena kelembutan, kehalusan, dan kelemahan tubuhnya”…yang lain berkata bahwasanya para wanita disamakan dengan kaca karena begitu cepatnya mereka berubah dari ridho menjadi tidak ridho dan tidak tetapnya mereka (mudah berubah sikap dan pikiran) sebagaimana dengan kaca yang mudah untuk pecah dan tidak menerima kekerasan” (Fathul Bari X/545)


Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “…Sebuah kata yang engkau ucapkan bisa menjadikannya menjauh darimu sejauh bintang di langit, dan dengan sebuah kata yang engkau ucapkan bisa menjadikannya dekat hingga di sisimu” (Asy-Syarhul Mumti’ XII/385)

Berkata Al-Qodhi ‘Iyadh, “Para wanita disamakan dengan kaca karena lemahnya hati mereka” ( Masyariqol Anwaar II/177). Demikianlah…Allah telah menciptakan wanita dengan penuh kelembutan dan kelemahan. Hati mereka lemah sehingga sangat perasa. Mudah tersinggung…namun senang dipuji. Mudah berburuk sangka…mudah cemburu…mudah menangis…demikianlah wanita.

Sikap para wanita begitu cepat berubah terhadap sikap suami mereka…terkadang hari ini ridho dengan sikap suaminya…besok hari marah dan tidak ridho…, apalagi jika sang suami melakukan kesalahan….!!!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطٌ

“Seandainya engkau berbuat baik pada salah seorang istri-istrimu sepanjang umurmu kemudian dia melihat suatu (yang tidak disukainya) darimu maka ia akan berkata, “Aku sama sekali tidak pernah kebaikan darimu” (HR Al-Bukhari I/19 no 29 dan Muslim II/626 no 907)



Basa-basi sangat diperlukan dalam menghadapi wanita

Hendaknya seorang suami pandai bersiasat dan berstrategi dalam bergaul dengan istrinya hingga menarik hatinya.

Berkata Ibnu Hajar, “Hadits ini menunjukan akan dianjurkannya untuk berbuat mujamalah (berbasa-basi) untuk menarik hati para wanita dan melembutkan hati mereka. Hadits ini juga menunjukan siasat dalam menghadapi wanita yaitu dengan memaafkan mereka serta sabar dalam menghadapi kebengkokan mereka. Dan barangsiapa yang berharap selamatnya para wanita dari kebengkokan maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari mereka, padahal seorang pria pasti membutuhkan seorang wanita yang ia merasa tentram bersamanya dan menjalani hidup bersamanya. Seakan-akan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah sempurna menikmati (bersenang-senang) dengan seorang wanita kecuali dengan bersabar menghadapinya” (Fathul Bari IX/254)

Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan sikap berlemah lembut terhadap para wanita, bersikap baik kepada mereka, sabar menghadapi bengkoknya akhlak mereka, sabar menghadapi lemahnya akal mereka, dan dibencinya menceraikan mereka tanpa ada sebab, serta janganlah berharap lurusnya seorang wanita” (Al-Minhaj X/57)

Oleh karena itu sikap basa-basi dihadapan wanita sangatlah diperlukan untuk menundukannya, bahkan hal ini disunnahkan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

أََلآ إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَأَنَّكَ إِنْ تُرِدْ إِقَامَتَهَا تَكْسِرْهَا فَدَارِهَا تَعِشْ بِهَا

“Ketahuilah bahwasanya wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan jika engkau ingin untuk meluruskannya maka engkau akan mematahkannya, oleh karenya barbasa-basilah niscaya engkau akan bisa menjalani hidup dengannya” (HR Al-Hakim di Al-Mustadrok IV/192 no 7333, Ibnu Hibban (Al-Ihsan IX/485) no 4178, Ad-Darimi II/198 no 2221 dari hadits Samuroh bin Jundaub. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (Lihat Shahihul Jami’ no 1944))



Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

www.firanda.com

Suami Sejati " Kesalahan-Kesalahan yang Sering Dilakukan Para Suami"

Saturday, 30 April 2011 12:17 administrator


(1) Lupa terhadap orang tua

Sebagian orang tatkala menikah maka iapun sibuk dan terlena dengan istrinya hingga melupakan kedua orang tuanya. Orang tuanya yang telah melahirkannya, yang telah mendidikanya hingga dewasa hingga akhirnya menikah…??, orang tuanya yang telah sibuk menyiapkan pernikahannya karena ingin melihat anaknya bahagia..??, kemudian setelah itu yang mereka dapatkan hanyalah anak mereka melupakan mereka, melalaikan mereka, bahkan terkadang sang anak lebih taat kepada istrinya dari pada kedua orang tuanya. Bahkan terkadang sang anak rela untuk meremehkan dan menghina kedua orang tuanya untuk menyenangkan istrinya..bahkan sampai-sampai ada yang mengusir kedua orang tuanya demi menyenangkan istrinya, bahkan orang yang telah terbalik fitrohnya terkadang sampai memukul orang tuanya. Ini jelas merupakan bentuk durhaka kepada orang tua, namun betapa banyak orang yang melakukannya tidak merasakannya.


Banyak orang tua yang memiliki harga diri yang tinggi sehingga tidak mau minta kepada anak mereka atau menampakan kebutuhannya kepadanya, akhirnya sang anak memang benar-benar lupa terhadap orang tuanya. Namun kondisi seperti ini bukanlah alasan bagi sang anak, alasan seperti ini tidak bisa diterima karena merupakan kewajiban anak untuk memperhatikan kedua orang tuanya, memperhatikan kondisi mereka, bukan malah berpaling dan tidak ambil peduli terhadap mereka.

Sebagian orang tua berangan-angan -setelah anak mereka menikah- untuk tidak melihat sang anak sehingga tidak terganggu dengan mulut anaknya yang seakan-akan selalu merasa bahwa keberadaan orang tua hanyalah menjadi beban hidupnya.

Sebagian orang..kondisi ekonominya mencukupkan, bahkan ia menghambur-hamburkan uangnya demi menyenangkan istirinya atau menyenangkan anak-anaknya, namun tatkala orangtuanya membutuhkan bantuannya maka ia berusaha untuk mengeluarkan sesedikit-dikitnya. Jika sang ayah meminta uang darinya untuk memenuhi kebutuhannya maka dengan lantangnya sang anak langsung berkata, “Saya masih punya hutang banyak… saya beli mobil dengan kredit…, saya beli rumah dengan kredit…, saya harus menabung untuk kebutuhan anak-anak di masa depan..”, dan seterusnya. Namun anehnya jika tiba waktu liburan maka dengan mudahnya ia menghambur-hamburkan uang sebanyak-sebanyaknya untuk menyenangkan istri dan anak-anaknya. Padahal orang tuanya tidak meminta banyak darinya… bahkan tidak sampai seperseluluh dari yang ia hambur-hamburkan untuk menyenangkan istri dan anak-anaknya..???!!!

Bukankah Allah berfirman

يَسْأَلونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, "Apa saja harta yang kamu nafkahkan berupa kebaikan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. 2:215)

Berkata Syaikh As-Sa’di, “((Apa saja harta yang kamu nafkahkan berupa kebaikan)) yaitu harta yang sedikit maupun banyak maka orang yang paling utama dan yang paling berhak untuk didahulukan yaitu orang yang paling besar haknya atas engkau, mereka itu adalah kedua orangtua yang wajib bagi engkau untuk berbakti kepada mereka dan haram atas engkau mendurhakai mereka. Dan diantara bentuk berbakti kepada mereka yang paling agung adalah engkau memberi nafkah kepada mereka, dan termasuk bentuk durhaka yang paling besar adalah engkau tidak memberi nafkah kepada mereka, oleh karena itu memberi nafkah kepada kedua orangtua hukumnya adalah wajib atas seorang anak yang lapang (tidak miskin)” [Tafsir As-Sa’di 1/96]

Apalagi jika kondisi ekonomi sang anak hanyalah pas-pasan maka semakin banyak celaan dan kalimat-kalimat yang pedis yang terlontar dari sang anak kepada kedua orang tua. Maka durhaka mana lagi yang lebih besar daripada ini.

(2) Sebagian orang yang telah lama menikah jika terjadi cekcok antara ia dan istrinya maka ia langsung melaporkan hal ini kepada kedua orang tuanya

Hal ini jelas semakin menjadikan kedua orang tua terbebani dengan banyaknya permasalahan. Orang tua yang semestinya di masa tuanya diusahakan agar tenang sehingga bisa lebih banyak beribadah kepada Allah akhirnya menjadi pusing karena mendengar keluhan-keluhan anaknya. Dan kebanyakan orang tua perasa, jika anaknya tersakiti maka merekapun otomatis akan merasa tersakiti. Bahkan terkadang akhirnya hal ini menjadikan orang tua menjadi sakit karena memikirkan beban anaknya.

Sesungguhnya orang tua tatkala menikahkan anaknya yang ia tunggu adalah agar sang anak membahagiakannya dan menyenangkannya –bukan malah ia yang sibuk menyenangkan anaknya-, menunggu agar sang anak memperhatikannya dan merawatnya –bukan malah sebaliknya-…!!!.

Oleh karena jika seseorang menghadapi cekcok keluarga maka hendaknya ia berusaha mengatasinya sendiri, hendaknya ia bertanya kepada orang yang berilmu, dan tidak mengapa terkadang ia meminta pendapat kedua orang tuanya. Namun bukan setiap kali ada permasalahan langsung ia kabarkan kepada kedua orang tuanya.

Terutama seorang ibu, jika mendengar cekcok yang terjadi antara sang anak dengan suaminya, maka ia akan merasa sangat sedih..bahkan hal ini sangat mungkin menjadikan sang ibu benci kepada sang istri akhirnya menganjurkan sang anak untuk bercerai..!!!. Sesungguhnya ibulah yang biasanya merasa sangat kehilangan anaknya setelah anaknya menikah. Dan terkadang sang ibu cemburu dengan istri anaknya. Terkadang kecemburuan ini mengantarkan sang ibu untuk mengatakan yang tidak-tidak tentang sang istri. Apalagi jika sang ibu mendengar kejelekan-kejelekan istri anaknya…maka ia akan semakin semangat untuk memerintahkan anaknya untuk bercerai. Meskipun demikian namun sang anak harus tetap menyikapi sang ibu dengan baik. Oleh karena itu hal ini harus dipahami dengan baik oleh sang anak.

Terkadang orang tua memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan rumah tangganya yang tidak sesuai dengan pandangan sang anak… maka apakah yang harus dilakukan???. Jika perintah orangtuanya bertentangan dengan syari’at maka hendaknya ia tidak mentaati orang tuanya, adapun jika tidak demikian maka hendaknya sang anak menimbang antara kemaslahatan dan kemudhorotan. Jika kemaslahatannya banyak maka hendaknya ia mentaati orang tuanya, namun jika kemudhorotannya lebih banyak maka tidak mengapa ia menyelisihi orang tuanya namun dengan tetap beradab dan menghormati orang tuanya.




Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

www.firanda.com

Suami Sejati "Salah Dalam Menasehati dan dalam Meng-hajr"

Menasehati istri namun bukan karena Allah

Jika nampak dari istri tanda-tanda ia mulai membangkang, mulai membantah, tidak taat kepada suami maka hendaknya ia menasehatinya dengan nasehat yang baik. Menasehatinya dengan membacakan ayat-ayat Allah atau hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengingatkan istrinya akan akhirat. Dan hendaknya ia sabar dalam menasehati istrinya dan mengulang-ngulang nasehatnya karena sebagian wanita sering sekali lupa dengan peringatan dan nasehat suaminya oleh karena itu seorang suami juga harus bersabar dalam menasehati istrinya. Dan yang paling penting hendaknya nasehat tersebut dia lakukan karena Allah.

Namun sebagian suami menasehati istrinya bukan karena Allah akan tetapi karena kepentingan pribadinya, karena ia tidak ingin namanya tercemar dengan sikap istrinya. Sebagian mereka berkata kepada istrinya, “Engkau jangan lakukan demikian, engkau hanya membuat aku malu saja…!!!”.

Barangsiapa yang menasehati istrinya karena Allah maka Allah akan memberi barokah pada nasehatnya tersebut dan insya Allah nasehatnya tersebut akan memberi pengaruh terhadap istrinya. Adapun jika ia menasehati karena kepentingan pribadinya maka pengaruh nasehat tersebut kurang, atau bahkan tidak memiliki pengaruh sama sekali.
Peringatan

Hendaknya seorang suami berusaha menghafal dalil-dalil baik dari Al-Qur'an maupun sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bermanfaat untuk menasehati istrinya. Karena sesungguhnya ayat-ayat yang dibacakan, demikian juga dengan sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh yang sangat luar biasa terhadap sang istri. Dan jika sang istri terbiasa mendengar ayat-ayat serta sabda-sabda Nabi maka ia akan terbiasa patuh dan taat kepada suaminya karena menjalankan perintah Allah dan RasulNya.


(10) Menasehati istri langsung dengan ancaman

Sebagian suami jika melihat istrinya melakukan kesalahan langsung mengancam istrinya dengan ancaman-ancaman yang berat, dan yang peling berat bagi sang istri adalah jika diancam dengan cerai. Misalnya dengan berkata, “Jika kamu tetap begini keadaannya maka lebih baik kita cerai…”. Apalagi zaman sekarang banyak suami yang karena –kebodohannya dalam menasehati istrinya- dan juga karena ketidaksabarannya maka jika istrinya bersalah langsung ia ancam untuk menceraikannya.

Hal ini jelas keliru dan kurang mendidik sang istri. Yang benar hendaknya yang pertama kali ia lakukan adalah memperingatkan istrinya tatkala bersalah dengan menyebut ayat atau hadits dan mengingatkannya dengan hari kiamat bahwasanya perbuatannya itu akan berakibat fatal di akhirat kelak.

Syaikh Utsaimin berkata, ((Dan nasehat adalah dengan mengingatkan sang istri dengan perkara-perkara (dalil-dalil) yang membuatnya semangat (untuk taat kepada suami-pen) atau yang membuatnya takut (jika tidak taat kepada suaminya-pen). Hendaknya sang suami menasehati istrinya dengan menyebutkan ayat-ayat yang menunjukan akan wajibnya taat kepada suami dengan baik, dan hadits-hadits yang memperingatkan akan tidak bolehnya sikap membangkang terhadap suami seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika seorang suami meminta istrinya untuk melayaninya di tempat tidur dan sang istri menolak lantas sang suami bermalam dalam keadaan marah maka malaikat akan melaknat sang istri hingga pagi hari” [HR Al-Bukhari no 3065 dan Muslim no 1436]

Dan hadits-hadits yang semisal ini.

Maka hendaknya pertama kali ia menasehati istrinya, dan jika sang istri menerima nasehat tersebut maka hal ini lebih baik daripada jika sang istri taat karena takut ancaman suami. Maksudnya lebih baik dari perkataan suaminya, “Kamu hendaknya meluruskan dirimu kalau tidak maka kamu akan aku cerai !!”, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang bodoh. Engkau dapati dia (selalu) mengancam istrinya dengan cerai, padahal dia tidak mengetahui bahwasanya hal ini menyebabkan sang istri lebih menjauhi darinya. Seakan-akan sang istri hanyalah seekor kambing yang jika dia kehendaki maka dia jual, dan jika dia kehendaki maka tetap jadi miliknya.

Metode yang benar adalah hendaknya sang suami mengingatkan sang istri dengan ayat-ayat Allah hingga sang istri patuh karena menjalankan perintah Allah…)) [Asy-Syarhul Mumti’ XII/442]


(11) Salah mepraktekkan hajr

Sebagian suami salah mempraktekan firman Allah {وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ} ((jauhilah mereka di tempat tidur)), sehingga jika mereka marah kepada istri mereka maka mereka langsung meninggalkan rumah atau mengusir istrinya dari rumahnya. Hal ini keliru karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa termasuk hak seorang wanita terhadap suaminya

وَلاَ يَهْجُرَ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ

“Dan tidak menghajr (menjauhi istrinya dari tempat tidur) kecuali di dalam rumah” [HR Abu Dawud no 2142 dan Ibnu Majah no 1850 dari hadits Mu’awiyah bin Haidah. Hadits ini dishahihkan oleh Ad-Daruquthni dalam Al-‘Ilal (sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Al-Habir IV/7 no 1661) dan juga dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, ((Yaitu janganlah engkau meng-hajr istrimu lantas engkau keluar meninggalkan rumah, atau engkau mengeluarkannya dari rumah. Jika engkau ingin meng-hajr istrimu maka hajrlah ia dan engkau tetap di rumah. Dan hajr di rumah ada beberapa macam.

1. Hajr dengan memutuskan pembicaraan. Dan hajr ini tidak boleh lebih dari tiga hari karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا وَخَيْرُهُمَا الَّذِىْ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ

"Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu, tetapi yang satu berpaling, begitu juga yang lainnya. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang mulai mengucapkan salam." [HR. al-Bukhari V/2302 no 5879 dan Muslim IV/1984 no2560]

Jika telah lebih dari tiga hari maka wajib bagi sang suami untuk memberi salam kepada sang istri. Jika ternyata tiga hari tidak cukup untuk meng-hajr istri maka setiap tiga hari hendaknya sang suami mengucapkan salam kepada istrinya

2. Hajr dengan makanan. Misalnya jika merupakan kebiasaanmu engkau makan siang dengan istrimu hajrlah ia (janganlah makan bersamanya biarkan ia makan sendiri)

3. Hajr dengan meninggalkan tidur bersama. Dan hajr ini bentuknya banyak diantaranya

- Tidak menjimaknya dan mencumbuinya dan yang semisalnya

- Menampakkan punggungmu kepadanya (tidak menengok kepadanya) tatkala tidur

- Engkau tidur di tempat tidur dan dia di tempat tidur yang lain

- Engkau tidur di kamar dan dia di kamar yang lain

4. Meng-hajr dengan meninggalkan sifat baik yang biasanya ia lakukan kepada istrinya. Misalnya ia biasanya bergurau dengan istrinya maka iapun meninggalkan gurauan tersebut)) [Syarh Bulugul Maram kaset no 4. Lihat juga Asy-Syarhul Mumti’ XII/442]

Adapun Syaikh Sholeh Fauzan menguatkan pendapat bahwa hajr dalam ayat di atas yaitu sang suami tetap tidur bersama sang istri hanya saja ia berpaling dari sang istri, misalnya dengan membalikan badannya hingga punggungnya diarahkan kepada sang istri. Dan ini adalah zhohir dari firman Allah ((di tempat tidur)) [Syarh Bulugul Maram kaset no 4]

Berkata Syaikh Alu Bassaam, "Jika sang suami meng-hajr istrinya maka hendaknya ia menghajrnya secara intern antara mereka berdua saja dan tidak di hadapan orang banyak" [Taudhihul Ahkaam min Bulughil Marom IV/453]. Oleh karena itu merupakan sikap yang salah jika seorang suami tatkala meng-hajr istrinya ia tampakkan atau iklankan di hadapan orang banyak. Hal seperti ini terkadang menimbulkan rasa dendam istrinya sehingga tidak tercapailah maslahat yang diinginkan.

Sebagian ulama berpendapat akan bolehnya meng-hajr dengan meninggalkan rumah jika memang bermanfaat bagi sang istri. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meng-hajr istri-istrinya selama dua puluh sembilan hari [ HR Al-Bukhari V/1996 no 4906]. Dan ini adalah pendapat Ibnu Hajar[1], beliau berkata, “Dan Yang benar hajr itu bervariasi sesuai dengan variasinya keadaan, terkadang hajr yang dilakukan dan suami tetap di rumah lebih terasa berat bagi sang istri dan bisa jadi sebaliknya, bahkan biasanya hajr yang dilakukan oleh suami dengan meninggalkan rumah lebih terasa menyakitkan bagi para wanita terutama karena hati mereka yang lemah”[2]


Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

www.firanda.com


---------------------------------------

[1] Demikian juga As-Shan’ani (Subulus Salam III/141) dan As-Syaukani (Nailul Author VI/366), dan ini merupakan dzhohir dari pendapat Imam Al-Bukhari sebagaimana di dalam kitab Shahihnya

[2] Fathul Bari IX/301. Namun pendapat ini masih perlu diteliti lagi mengingat hal-hal berikut:

1. Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghajr di luar rumah adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adapun hajr Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam para istrinya di luar rumah adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dalam kaidah tarjih bahwasanya hadits qouli (perkataan) lebih didahulukan daripada hadits fi’li (perbuatan), karena fi’il Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak kemungkinan-kemungkinannya, atau bisa jadi merupakan kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Sebagian ulama menyatakan bahwa hadits tentang sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjauhi istri-istrinya selama sebulan adalah termasuk bab iilaa’ syar’i bukan hanya sekedar bahasa. Hal ini sebagaimana jelas dalam lafal hadits dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata آلَيْتُ مِنْهُنَّ شَهْرًا“Aku mengiilaa’ mereka selama sebulan (HR Al-Bukhari II/874 no 2337), dan ini juga dipahami oleh para sahabat sebagai iilaa’ sebagaimana perkataan Ummu Salamah (HR Al-Bukhari II/675 no 1811) dan Anas bin Malik (HR Al-Bukhari II/675 no 1812) dan bukan termasuk bab hajr istri. (Lihat Kifaayatul Akhyaar I/411, dan Imam Al-Bukhari membawakan hadits ini pada tafsir firman Allah {لِلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ نِسَائِهِمْ...} (Kepada orang-orang yang mengiilaa’ istri-istri mereka…QS 2:226) dan juga An-Nasai membawakan hadits ini di bawah bab Iilaa VI/166 no 3455).

Ibnu Hajar menyebutkan bahwa pendapat ini adalah pendapat minoritas ulama, adapun pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa iilaa’ yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah iilaa’ yang sebagaimana dikenal dalam buku-buku fikih (iilaa’ syari’i) akan tetapi iilaa’ secara bahasa. Karena mayoritas ulama mensyaratkan bahwa yang dimaksud dengan iilaa’ secara syar’i adalah seorang suami berjanji untuk tidak menjimaki istrinya, dan dalam hadits ini tidak ada nas yang jelas yang menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjimaki istri-istrinya selama sebulan penuh, bisa saja salah seorang istri beliau datang ketempat beliau menyendiri kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjimakinya, kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyendiri di mesjid maka tidak mungkin beliau menjimaki istrinya di masjid. (Al-Fath IX/427). Akana tetapi perkataan Ibnu Hajar inipun perlu dicek kembali, karena apa manfaat hajr selama sebulan hingga istri-istri beliau terpukul sementara beliau tetap menjimaki istri-istri beliau. Kemudian asalnya jika terdapat dalam hadits suatu lafal maka hendaknya dibawa kepada makna syar’i kecuali ada dalil yang memalingkannya,. Selain itu Umar juga bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah engkau menceraikan istri-istrimu?”, kalau memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menggauli istri-istrinya maka Umar tidak akan bertanya seperti itu. Selain itu ada lafal yang lebih tegas yaitu اِعْتَزَلَ نِسَاءَهُ شَهْرًا Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhi istri-istrinya selama sebulan (HR Muslim II/763 no 1084 dari Jabir bin Abdillah). Dan tidak bisa dikatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di masjid sehingga istri-istrinya tidak bisa menemui beliau untuk digauli, karena jelas dalam lafal hadits bahwa beliau menyendiri di مَشْرَبَة (semacam kamar), jika seandainya beliau menetap di masjid maka tentu akan dijelaskan di hadits.

3. Kebanyakan buku-buku fikh madzhab tatkala menjelaskan tentang hukum menghajr (menjauhi) istri tidak menyinggung tentang bolehnya menghajr di luar rumah, namun yang dibicarakan adalah tentang perselisihan para ulama tentang bagaimana cara menghajr istri di dalam rumah

4. Demikian juga buku-buku tafsir, tatkala menjelaskan ayat (QS 4:34) sama dengan yang terdapat dalam buku-buku fikih, yaitu tidak disinggung akan bolehnya menghajr di luar rumah, yang dibahas adalah pendapat para ulama dan para alhi tafsir tentang bagaimana cara hajr yang diterapkan di dalam rumah. Wallhu A’lam bisshowaab.

Suami Sejati "Diantara Kesalahan Suami adalah Tidak Bisa Memimpin Keluarga"

Tidak bisa memimpin keluarga

Sebagian suami lemah sehingga tunduk kepada istrinya, ia tidak bisa memimpin istrinya namun justru ialah yang dipimpin dan diatur oleh istrinya. Hal ini bertentangan dengan syari’at.

Allah berfirman

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. (QS. 4:34)

Hal inilah yang menjadikan sebagian istri besar kepala dan ingin menyamai para lelaki dalam segala hal sampai pada pekerjaan-pekerjaan di luar rumah sehingga timbulnya ikhtilath (bercampur baur antara para lelaki dan para wanita) yang akhirnya menjerumuskan pada timbulnya banyak penyakit sosial.


Jika seorang istri telah merasa seperti lelaki maka suaminya tidak mungkin bisa hidup bersamanya, bagaimana bisa seorang lelaki hidup berumah tetangga dengan sorang lelaki??!!. Kecantikan seorang wanita dihadapan seorang lelaki terdapat pada kelemahannya dan kebutuhannya kepada seorang lelaki. Tatkala seorang lelaki melihat istrinya lemah lembut dan butuh kepadanya maka akan timbul rasa kasih sayangnya dan akan nampak kejantanannya dihadapan sang wanita sehingga terjalinlah keselarasan diantara keduanya. Berbeda jika sang suami melihat istrinya adalah perkasa..??!!

Memang benar terkadang seorang istri pintar dan berkepribadian kuat, namun hal ini bukan berarti sang suami harus mengikuti semua perkataan istrinya, istrinyalah yang mengaturnya, memerintahnya dan melarangnya. Jika kondisi seorang suami seperti ini maka akan menyebabkan sang istri berani untuk keluar rumah tanpa izin suaminya. Sebagian suami tidak berani mengundang sahabatnya untuk minum teh di rumahnya kecuali setelah izin istrinya…???, apakah sampai demikian takutnya sang suami…???.

Sebagian suami terlalu cinta kepada istrinya hingga iapun tunduk pada istrinya meskipun istrinya tidak memiliki keistimewaan tertentu selain kecantikannya. Istrinya tidak pintar dan juga tidak berkepribadian kuat, bahkan sang suami mengetahui hal ini. Namun karena kecintaannya kepada sang istri yang terlalu besar akhirnya menggelapkan matanya dan pikirannya, akhirnya iapun tunduk dengan semua perkataan istrinya. Hal ini terkadang menjadikan dia tenggelam dengan dunia dan lupa untuk menuntut ilmu apalagi mendakwahkannya, dan banyak kebaikan-kebaikan agama yang harus dikorbankannya demi menyenangkan istrinya.

Allah berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوّاً لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 64:14)

Ibnu Katsir berkata, “Allah mengabarkan tentang istri-istri dan anak-anak bahwasanya diantara mereka ada yang merupakan musuh bagi suami…oleh karena itu Allah berfirman {فَاحْذَرُوهُمْ} ((maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka)). Berkata Ibnu Zaid, يَعْنِي عَلَى دِيْنِكُمْ “Yaitu (wasapadahilah mereka) terhadap agama kalian”…Mujahid berkata, “Mereka (istri dan anak-anak) mendorong sang suami untuk memutuskan silaturahmi atau untuk bermaksiat kepada Allah maka sang suami tidak mampu kecuali mentaati mereka karena cintanya kepada mereka” [Tafsir Ibnu Katsir IV/377]

Berkata Syaikh As-Sa’di, “Ayat ini merupakan peringatan dari Allah terhadap kaum mukiminin agar mereka jangan sampai terbuai dengan istri dan anak-anak mereka karena sebagian istri dan anak-anak mereka adalah musuh bagi mereka. Dan yang namanya musuh adalah yang menghendaki kejelekan pada dirimu, maka tugasmu adalah engkau berwaspada dari orang yang sifatnya demikian.

Jiwa memang terciptakan condong mencintai istri-istri dan anak-anak, maka Allah menasehati hamba-hambaNya jangan sampai kecintaan mereka terhadap istri dan anak-anak menjadikan mereka patuh dan taat dalam memenuhi keingingan-keingingan istri dan anak-anak yang mengandung perkara-perkara yang diharamkan, kemudian Allah memotivasi mereka untuk menjalankan perintah-perintahNya dan agar mereka mendahulukan mencari keridhoan Allah serta apa yang di sisi Allah berupa ganjaran yang besar yang mengandung keinginan-keinginan yang tinggi dan perkara-perkara yang sangat dan paling disukai. Allah juga menasehati mereka agar mereka mendahulukan akhirat daripada dunia yang fana dan akan berakhir.” [Taisir Ar-Karim Ar-Rahman hal 868]

Namun hendaknya seorang suami ingat bahwa istrinya bisa jadi musuh baginya bukan karena istrinya itu secara dzatnya yang asli merupakan musuh, akan tetapi istrinya menjadi musuh baginya karena sikap istrinya tersebut. Jika sang istri melakukan perbuatan yang bisa menghalangi sang suami untuk lebih banyak beribadah kepada Allah maka jadilah ia musuh bagi suaminya, namun jika tidak maka bukanlah musuh suaminya. [Lihat penjelasan Al-Qurthubi dalam tafsirnya XVIII/141]. Oleh karena itu jika timbul dari istri sikap-sikap yang bisa menghalangi seorang suami untuk lebih banyak beribadah kepada Allah, atau sikap-sikap yang bisa menyebabkan sang suami sibuk dengan dunia dan lalai dari akhirat, dan sang suami sadar akan hal itu, maka bukan berarti lantas sang suami kemudian menjadi kasar terhadap istrinya, atau “mencak-mencak” kepadanya dan menghinakannya, atau kemudian menjadikan istrinya sebagai musuhnya seterusnya lantas terus melampiaskan kemarahannya dan emosinya terhadap sang istri. Hendaknya sang suami memaafkan istrinya dan ingat akan wasiat-wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya agar berbuat baik kepada istrinya. Oleh karena itu Allah mengingatkan hal ini setelah menjelaskan bahwa sebagian istri merupakan musuh bagi suaminya. Allah berfirman

وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ



Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 64:14)

Syaikh As-Sa’di berkata, “Dan tatkala larangan mentaati istri dan anak-anak pada perkara-perkara yang mengandung kemudhorotan terhadap hamba serta peringatan akan hal itu bisa saja menimbulkan persangkaan untuk bersikap keras terhadap mereka serta menghukumi mereka, maka Allah memerintahkan untuk berwaspada terhadap mereka dan memafkan mereka serta tidak memarahi mereka karena hal ini mendatangkan kemaslahatan-kemaslahatan yang banyak sekali. Maka Allahpun berfirman وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ((dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)), karena balasan sesuai dengan amal perbuatan. Barangsiapa yang memaafkan maka Allah akan memaafkannya, barangsiapa yang mengampuni maka Allah akan mengampuninya, barangsiapa yang mencintai dan bermu’amalah dengan hamba-hambaNya dengan apa yang mereka sukai dan memberi manfaat kepada mereka maka ia akan medapatkan kecintaan Allah kepadanya dan kecintaan hamba-hamba Allah kepadanya” [Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal 868]

Allah telah menetapkan bahwa kepemimpin rumah tangga harus dipegang oleh kaum lelaki, dan rumah tangga tidak akan bisa berjalan dengan baik kecuali jika kepemimpinan dipegang oleh suami. Namun jika kepimimpinan dipegang oleh suami bukan berati sang suami menguasai istri dan bertindak kepadanya sewenang-wenang, bahkan syari’at memerintahkan para suami untuk memuliakan istri-istri mereka dan bersikap lembut kepada mereka.

Faedah :

Dalam ayat ini (QS 64:14) Allah menyebutkan bahwa hanya “sebagian” istri dan anak-anak yang merupakan musuh bagi sang suami, karena bukan semua istri dan anak-anak merupakan musuh. Adapun pada ayat setelahnya Allah tidak menyebutkan kata “sebagian”

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. 64:15)

Karena anak-anak, harta dan istri tidak akan lepas dari menimbulkan fitnah dan menyibukan hati. Oleh karena itu Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Janganlah salah seorang dari kalian berkata, “Ya Allah aku berlindung kepada Engkau dari fitnah”, karena tidak seorangpun dari kalian kembali ke hartanya, istrinya, dan anaknya kecuali ia akan terkomintasi dengan fitnah. Akan tetapi hendaknya ia berkata, “Ya Allah aku berlindung kepada Engkau dari fitnah-fitnah yang menyesatkan” [Lihat tafsir Al-Baghowi IV/354]

Karena bagaimanapun juga seorang suami pasti akan tersibukan dengan anaknya, hartanya, dan istrinya, dan ini merupakan fitnah baginya. Akan tetapi tidak semua fitnah menjadikannya tersesat, oleh karena itu ia hanya berlindung kepada Allah dari fitnah yang bisa menyesatkannya. Adapun ingin terbebas dari fitnah secara mutlak maka ini tidak mungkin, karena dunia adalah tempat fitnah dan ujian. Wallahu A’lam



Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

www.firanda.com